Entri Populer

Rabu, 16 Februari 2011

My Best Friend is Nayla episode 1

Jam Istirahat di 9c…  

            Saat jam istirahat tiba, kelas 9c sudah sepi ditinggal penghuninya. 9c merupakan kelas terbaik ketiga dari 15 kelas yang ada di sekolah Tirta Nagara International School. Walaupun kelas ini kelas terbaik ketiga tetapi anak-anak yang berada di dalamnya tidak selalu memakai kacamata ataupun membawa buku pelajaran kemanapun mereka pergi, malah sebaliknya mereka jarang menyentuh buku pelajaran mereka disaat liburan sekolah dan yang memakai kacamata bukan mencerminkan sikap kutu buku seperti kebanyakan orang bilang, melainkan karena terlalu banyak bermain game di laptop, komputer, ipad, ataupun handphone.
            Sekolah ini memiliki fasilitas yang lengkap, jadi tidak salah jika sekolah ini memang sekolah favorit di Jakarta. Dengan empat gedung sekolah berdempetan yaitu gedung untuk TK, SD, SMP dan SMA, fasilitas yang terdapat di sekolah ini terletak di belakang gedung sekolah. Fasilitas yang diberikan antara lain: full AC, kolam renang, stadion, taman, lapangan olahraga serbaguna, laboratorium biologi, laboratorium kimia, ruang komputer, UKS dengan obat-obatan lengkap, ruang kreatifitas, masjid, kantin, dan toilet.
            Nayla yang baru pulang dari kantin dengan wajah cemberut langsung duduk disamping Mia yang sedang asik membaca novelnya.
            “Kamu kenapa Nay?” Mia menoleh ke arah Nayla karena merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
            “Nggak usah aku jawab juga kamu udah tau kan jawabannya.” Nayla bicara ketus pada Mia. Dengan jawaban Nayla tadi sebenarnya Mia sudah tahu jawabannya. Hal ini sudah sering terjadi setiap minggunya.
            “Nayla, Nayla, harusnya kamu bersyukur karena kamu itu…” Mia mencoba menasehati Nayla.
            “Udah deh Mia, kamu nggak usah ngomong kaya gitu lagi, aku nggak perlu dibanggain, aku juga nggak perlu pujian kamu, aku pingin kaya kamu, bisa hidup nyaman dari semua gangguan orang-orang itu, aku cuma mau hidup normal.” Nayla memotong kata-kata Mia tidak lupa juga untuk menatap Mia tajam, mukanya merah padam. Mia kembali membaca novelnya.
Mia sudah terbiasa dengan sifat Nayla. Ia tau bahwa Nayla merasa sangat bersalah padanya, Mia juga tahu bahwa Nayla menangis walaupun wajah Nayla masih dengan ekspresi marah saat meninggalkan ruang kelas. Mata Nayla berkaca-kaca saat berbicara pada Mia tadi.
“Dimarahin sama Nayla lagi ya? Aduh kasian banget sih lo, kan udah aku bilang kalo Nayla itu nggak pantes jadi sahabat lo. Tiap minggu kerjaannya cuma marah-marahin lo aja, kok lo bisa betah sih sahabatan sama Nayla?” Emma, cewek centil yang iri dengan Nayla. Iri karena Nayla lebih populer dibangdikan dengannya, Nayla punya semua yang tidak Emma punya. Sebenarnya Nayla tidak ingin popular dan ia juga tidak begitu peduli dengan omongan Emma tentang dirinya.
“Emma, lo itu cuma cewek centil yang nggak tahu apa-apa tentang Nayla, jadi lo nggak usah sok tahu tentang gue dan Nayla.” Mia menjawab pertanyaan Emma dengan enteng, mata Mia belum lepas dengan novel yang berada di depan matanya.
“Ih, gue tuh bukannya sok tahu, tapi gue tuh khawatir sama lo.” Mia yang malas mendengar ocehan Emma akhirnya keluar.
“Malah pergi lagi.” kata Emma ketika Mia keluar dan Emma duduk di bangkunya dengan wajah kesal.

Hidup ini ternyata nggak adil ya? Di saat Mia ingin seperti Nayla tapi justru Nayla yang ingin seperti Mia, kenapa jadi terbalik kaya gini sih? Mia berfikir sepanjang jalan menuju ke arah taman, karena di sanalah tempat Nayla sering berdiam diri jika ia ada masalah. Taman memang tempat yang nyaman untuk berdiam diri walaupun tidak terlalu sepi, tepi taman adalah tempat yang pas untuk menumpahkan segala isi hati kita.
“Nayla.” Mia menghampiri Nayla yang sedang duduk di atas bangku taman di bawah pohon beringin.
“Aku tau sebentar lagi bel masuk, kamu nggak perlu nyusul aku ke sini.” Nayla berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kelas.
“Maaf ya, soalnya…” Mia berjalan di samping kanan Nayla dan menyamai langkah kaki Nayla.
“Aku yang harusnya minta maaf.” kata Nayla, nada bicara berbeda saat dia berada di kelas tadi.
“Kok?” tanya Mia bingung dengan apa yang Nayla katakan.
“Lupain aja.” Nayla menoleh ke arah Mia dan tersenyum, dan Mia tahu itu berarti mereka sudah berdamai.
Tepat saat mereka berada di depan kelas, bel masuk pun berbunyi, kelas yang tadinya ditinggal penghuninya kini telah terisi kembali. Pelajaran selanjutnya adalah fisika. Semua murid kelas 9c sudah berada di tempatnya masing-masing dengan buku fisika beserta alat tulis sudah terpajang rapi di meja mereka.
Saat pelajaran fisika berlangsung seisi penghuni 8b seperti bisu, semua mata tertuju pada Bu Kila, sang guru killer, tidak ada satu pun yang berani melirik ke kanan atau pun ke kiri. Alasan yang paling tepat untuk menghindari pelajaran fisika adalah izin pergi ke toilet atau pura-pura sakit. Sepertinya Dikta sudah merasakan efek dari ocehan Bu Kila, buktinya saja ia meminta izin untuk pergi ke toilet tapi tak tahu di benar-benar ke toilet ataupun ke kantin. Pelajaran berjalan dengan aman dan damai, tidak ada yang jadi patung selamat datang di depan kelas, karena semua sudah mengerjakan PR. Pelajaran Fisika berlangsung 2 jam pelajaran, tapi rasanya seperti 20 jam pelajaran. Saat Bu Kila sudah keluar dari kelas, kelas yang tadinya sepi berubah jadi berisik.
“Huh, punggung gue pegal-pegal nih, sepertinya encok deh.” Faisal yang memegangi punggungnya akibat duduk tegak tadi. Faisal terpaksa duduk tegak karena hari ini ia dan Fais kebagian duduk di depan.
“Adoh, kalo gini terus gue bisa masuk rumah sakit lebih cepat dari yang gue perkirakan selama ini.” Rendi memutar kepalanya ke segala arah: kanan, kiri, atas dan bawah.
“Bentar lagi juga RSJ bakal penuh.” Rendra sedang merapikan buku fisikanya setelah merentangkan tangannya. Sepertinya ia akan muntah jika melihat buku fisika lebih lama lagi.
“Coba aja guru fisika itu baik, pasti gue cepet ngerti deh.” Mia membuka laptopnya dan mulai mengetik sesuatu di laptopnya dan sepertinya Nayla tidak peduli tentang apa yang Mia ketik.
“Mikirin apa sih Nay?” Mia menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Nayla yang dari tadi melamun.
“Di rumah aja ya aku ceritanya.” kata Nayla berjanji.
“Oh, yaudah deh.” Mia melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.
Nayla berdiri dari tempat duduknya “Mi, anterin aku ke toilet yuk.”
“Bentar.” Mia menutup laptopnya dan berjalan mengikuti Nayla ke toilet.
Mereka berjalan ke arah toilet wanita yang berada tepat di samping gedung SD yang berada di lantai satu. Toiletnya memang agak jauh dari kelas mereka, tapi ini lah toilet yang paling enak menurut Nayla. Toilet ini jarang dipakai orang karena kebanyakan memakai toilet yang dekat dengan kantin. Toilet ini sebenarnya diperuntukkan untuk kelas 7.
***
Sekolah telah berakhir sekitar lima menit yang lalu, tetapi sekolah masih saja ramai. Ada yang menunggu jemputan, ada yang sedang ekskul, ada yang sedang berbincang-bincang dengan temannya, dan lain-lain. Sedangkan Nayla dan Mia sedang menunggu pak Mahmud, supir pribadi Nayla. Rumah Nayla dan Mia bersebelahan, jadi wajar-wajar saja jika mereka selalu bersama. Nayla dan Mia sudah bersahabat sejak kelas 2 SD.
Nayla bangkit dari tempat duduknya dan melihat jam tangannya, “lama banget sih pak Mahmud.” Nayla mulai merasa bosan karena ia memang tidak suka menunggu.
Mia pun ikut bangkit, “sabar dong Nay, sebentar lagi juga dateng, mungkin kena macet.”
“Ya ya ya, aku ke toilet dulu deh Mi.” Nayla berjalan ke arah toilet yang berada di dekat pintu gerbang.
“Ati-ati ya Nay.” kata Mia.
“Toilet deket kali Mi.” teriak Nayla.
Mia hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya.
Setelah Nayla sudah tidak terlihat lagi, tiba-tiba datang seorang cowok menghampiri Mia “Hai Mi, sendiri aja ni? Nayla mana?”
“Siapa ya?” Mia bingung. Nayla memang cewek eksis di sekolahnya, jadi wajar kalau Mia juga kena getahnya.
“Oh iya, kenalin.” cowok itu menjulurkan tangannya “Gue Dika, anak 9g.”
Oh fansnya Nayla, batin Mia. Mia tidak membalas juluran tangan Dika “Nayla lagi di kamar mandi.” jawab Mia sambil tersenyum.
Muka Dika terlihat kecewa, ia menarik tangannya lagi “Oh, ya udah kalo gue duluan, titip salam buat Nayla”
“Oh, iya”
Sekitar 2 menit kepergian Dika, Nayla baru datang dari kamar mandi dan menghampiri Mia.
“Ada salam dari Dika.” Mia berjalan ke arah pintu gerbang bersama Nayla.
Nayla terlihat bingung “Dika siapa?”
“Dika anak 9g kalo nggak salah.” Mia mencoba mengingat.
Nayla tampak berpikir lalu berkata “Kayaknya aku nggak kenal deh.”
“Sama, aku juga nggak kenal, tiba-tiba aja nyariin kamu gitu deh, eh itu dia pak Mahmud.” Mia menunjuk ke arah Honda jazz biru.
Setelah pak Mahmud menepi, Mia dan Nayla buru-buru masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, pak Mahmud menyapa Mia dan Nayla dengan senyum ramahnya. Mia dan Nayla duduk di bangku belakang. Setelah pintu ditutup pak Mahmud menjalankan mobilnya.
“Kemana aja sih pak lama banget?” mulut Nayla sudah gatal ingin segera menanyakan hal tersebut.
“Maaf non, tadi isi bensin dulu.” Pak Mahmud meminta maaf.
“Oh, ya udah.” Nayla menyalakan handphonenya.
***
Sesampainya di rumah Nayla, Mia tidak langsung pulang tapi mampir ke rumah Nayla. Dari garasi sudah tercium bau masakan bi Inah, pembantu yang mengasuh Nayla sejak lahir. Baru saja Mia dan Nayla ingin memasuki rumah, suara kak Drea, kakak Nayla yang berada di kelas dua SMA sudah bergema. Wajah kak Drea sangat mirip dengan Nayla: matanya sedikit sipit, hidungnya mancung, kulitnya pitih, rambut hitam, berbadan kurus tapi nggak kurus-kurus amat juga. Yang berbeda dari kak Drea dan Nayla yaitu sifat, rambut, rambut kak Drea lurus sedangkan Nayla keriting gantung. Kak Drea dan Nayla sangat mirip dengan mamanya sedangkan Yandra, adik Nayla, sangat mirip dengan papanya.
“Bisa nggak sih nggak teriak-teriak.” Nayla melepas sepatunya dan memasuki rumah lebih dahulu.
“Bisa nggak sih, nggak ngasih tau alamat rumah ke temen-temen kamu?” Kak Drea menghampiri Nayla yang masih melepas sepatunya.
“Siapa yang ngasih? Aku enggak pernah ngasih selain temen sekelas.”
“Terus siapa yang ngasih tau?”
“Ya mana aku tau, emangnya aku dukun yang tau semuanya.”
“Ah, yaudah deh, aku mau makan, surat dari para penggemarmu ada di gudang.” Kak Drea masuk ke dalam rumah.
“Nggak ditaruh di gudang juga kali Kak, taruh di kamar aku juga bisa kan.” Nayla mengikuti kakaknya dan di belakangnya sudah ada Mia yang menyusul.
“Males gela.” kata Kak Drea disertai dengan gayanya yang lebay.
“Males mulu kapan rajinnya?” Mereka bertiga pergi ke ruang makan.
“Tahun depan.”
“Nggak ada kata lain apa selain tahun depan?”
“Nggak ada, udah abis.”
“Apa sih kak? Nggak jelas banget deh.” Mia akhirnya ikutan.
“Hahaha, aku ada pembelanya.” ujar Nayla saat Mia mendukungnya.
“Tenang, bentar lagi Yandra pulang.” Yandra kini berada di kelas tujuh dan ia juga satu sekolah dengan Nayla sehingga pulangnya sama, Kak Drea juga satu sekolah, tapi ia pulang lebih cepat daripada Nayla.
“Yandra kan ada kerja kelompok kak.” kata Nayla mengingatkan
“Oh iya, yaaaaah” pembicaraan kakak beradik itu akhirnya berhenti ketika suara perut Mia berbunyi, semua tertawa.
“Ya udah yuk, cepatan makan” Kak Drea yang paling pertama mengambil nasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar